0 suara
dalam Lain-lain oleh

1 Jawaban

0 suara
oleh (1.8k poin)

Terima Kasih telah menggunakan Layanan RUKUM Kejati-Aceh...

Sebelumnya, menurut Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam (KHI), syarat sah perkawinan yaitu :Calon suami / mempelai pria, Calon istri / mempelai wanita, Wali nikah, Dua orang saksi serta Ijab dan qabul.

Dalam perkawinan, adanya Wali Nikah merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi Calon Mempelai Wanita yang bertindak untuk menikahkan, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 19 KHI. Berikut ketentuan mengenai Wali Nikah yang telah dirangkum dari Pasal 20 s.d Pasal 23 KHI

Syarat Wali Nikah : Yang bertindak sebagai Wali Nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat Hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh;

Wali Nikah terdiri dari :

  1. Wali Nasab : Wali Nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan Calon Mempelai Wanita. Kelompok tersebut yakni: Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya; Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung, atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka; Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka; Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.

Dari kelompok-kelompok di atas terdapat ketentuan sebagai berikut :

  • Apabila dalam satu kelompok Wali Nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi Wali, maka yang paling berhak menjadi Wali ialah yang lebih dekat kekerabatannya dengan Calon Mempelai Wanita;
  • Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya maka yang paling berhak menjadi Wali Nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah;
  • Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi Wali Nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat Wali;
  • Apabila Wali Nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai Wali Nikah, atau oleh karena Wali Nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak wali bergeser ke Wali Nikah yang lain menurut derajat berikutnya.
  1. Wali Hakim : Wali Hakim baru dapat bertindak sebagai Wali Nikah apabila Wali Nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan. Wali Hakim berdasarkan Pasal 1 huruf b KHI ialah Wali Nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai Wali Nikah.

Dari ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa Wali Nikah yang dimaksud dalam Islam adalah kerabat laki-laki kandung, baik itu ayah, saudara laki-laki seayah, atau kerabat lain sesuai urutan kekerabatan yang telah diuraikan di atas. Dengan demikian, terkait pertanyaan Anda, ayah angkat tidak bisa bertindak sebagai Wali Nikah untuk menikahkan karena ayah angkat tidak memiliki hubungan kekerabatan kandung dengan Calon Istri / Mempelai Wanita sebagaimana yang dipersyaratkan dalam hukum Islam.

Solusi yang disarankan adalah Calon Mempelai Wanita perlu mencari tahu asal-usulnya. Jika memang ayah kandung tidak ada, maka yang bertindak sebagai Wali Nikah adalah kelompok Wali Nasab yang telah disebutkan di atas sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan Calon Mempelai Wanita. Jika memang tidak ada, jalan terakhir adalah Wali Hakim yang bertindak sebagai Wali Nikahnya. 

Selanjutnya mengenai asal-usul sebagai anak angkat, pada dasarnya setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. Namun, dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Menurut penjelasan pasal ini, ketentuan mengenai hak anak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dalam arti asal-usulnya (termasuk ibu susunya), dimaksudkan untuk menghindari terputusnya silsilah dan hubungan darah antara anak dengan orang tua kandungnya, sedangkan hak untuk dibesarkan dan diasuh orang tuanya, dimaksudkan agar anak dapat patuh dan menghormati orang tuanya. Dengan kata lain, seorang anak berhak untuk dibesarkan dan diasuh oleh orang tua kandungnya sendiri. Namun, jika memang pengangkatan anak itu terjadi, pengangkatan anak tersebut pada dasarnya juga tidak boleh sampai memutuskan silsilah dan hubungan darah antara anak dengan orang tua kandungnya.

Lebih lanjut, apakah seorang anak angkat berhak untuk bertanya mengenai asal-usul nya? Hal ini berkaitan dengan kewajiban orang tua angkat yang ketentuannya terdapat dalam Pasal 40 UU Perlindungan Anak:

  1. Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya;
  2. Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.

Adapun yang dimaksud dengan kesiapan dalam Pasal 40 ayat (2) UU Perlindungan Anak ini diartikan apabila secara psikologis dan psikososial diperkirakan anak telah siap. Hal tersebut biasanya dapat dicapai apabila anak sudah mendekati usia 18 (delapan belas) tahun.

Demikian Jawaban dari kami, semoga bermanfaat...

SALAM JPN...

102 pertanyaan

109 jawaban

32 komentar

25.9k pengguna

...